Senin, 26 Oktober 2015

INTISARI INJIL YOHANES

Menurut tradisi gereja mula-mula, penulis Injil Yohanes adalah rasul Yohanes, anak Zebedeus.

Yohanes inilah yang dipercayai sebagai “murid yang bersandar di dada Yesus dan yang menulis Injil ini ketika ia tinggal di Efesus” oleh Bapa gereja Irenaeus (akhir abad ke-2 M).

Yohanes menulis dirinya sebagai “murid yang dikasihi” di dalam Yoh 13:23; 19:26-27; 20:2-9.

Dalam naskah-naskah Laut Mati (Qumran) menunjukkan waktu penulisan Injil Yohanes pada sekitar tahun 90 M atau pada saat rasul Yohanes sedang menuju pada akhir hidupnya.
Pada waktu penulisan Injil Yohanes ini, orang-orang Kristen asal Yahudi sedang menghadapi suatu tantangan yang berat dari sinagoge yang berusaha keras untuk mengusir orang Kristen dari ibadah sinagoge setelah tahun 70 M dan sepanjang tahun 80-an.
Kekristenan dianggap sebagai bidat oleh orang-orang Yahudi yang tidak percaya kepada Yesus dan dalam salah satu doa utama yang selalu diucapkan setiap hari di sinagoge, yang diformulasikan sekitar tahun 85 M dalam sebuah kongres di Yabney, berisi kutukan terhadap para minim atau bidat, khususnya orang Kristen-Yahudi. Untuk alasan inilah, Injil Yohanes ditulis, yaitu supaya mereka yang membacanya dapat menjadi percaya dan dapat tetap terus percaya (Yoh 20:30-31 - dalam beberapa salinan yang lainnya).

Selain itu, Injil Yohanes juga ditulis sebagai bentuk penginjilan kepada orang-orang Yahudi dan penganut agama Yahudi yang tersebar di luar wilayahnya.

Di samping dua tujuan di atas, Injil Yohanes juga ditulis sebagai bentuk pembelaan terhadap orang Yahudi, dimana dibandingkan dengan Injil Matius, Yohanes lebih kuat menonjolkan pertentangan antara kekristenan dengan agama Yahudi.
Yesus sebagai mesias menjadi suatu penekanan yang dituliskan dalam Injil Yohanes, yang justru ditolak oleh agama Yahudi. Meskipun tidak menyerang orang Yahudi atau orang Farisi karena kemunafikan serta perilaku moral dan sosialnya seperti Injil-Injil yang lain, Yohanes hanya menegaskan kesalahan orang Yahudi yang menolak untuk percaya kepada Yesus.
Banyaknya kutipan dalam Perjanjian Lama juga menunjukkan bahwa sasaran pembacanya adalah orang-orang yang memahami Perjanjian Lama. Namun, Yohanes juga menterjemahkan ucapan-ucapan dari bahasa Ibrani, sehingga kesan ini jelas menunjukkan bahwa Injil Yohanes ditujukan bagi orang-orang Yahudi baik di Palestina maupun orang-orang Yahudi dalam diaspora (yang tinggal di luar Palestina).

Injil Yohanes melukiskan gambaran tentang Yesus yang sangat berbeda dibandingkan dengan Injil-Injil sinoptik. Dalam Injil ini, kita dapat menjumpai kisah-kisah yang terindah tentang Yesus, ucapan-ucapanNya yang terkenal (termasuk frasa “Aku adalah…” yang ditulis sebanyak 7 kali dalam Injil Yohanes) dan sebagian dari ajaran Yesus yang memiliki makna amat dalam.

Selain itu, Injil Yohanes juga mengajarkan beberapa unsur yang khas tentang Roh Kudus yang tidak dijumpai dalam Injil-Injil yang lain. Roh Kudus disebut sebagai Parakletos (Yoh 14:16, 26; 15:26; 16:7). Dalam pengertian aslinya, parakletos artinya “Pembela” (Advocate) dalam konteks pengadilan, dan bukan “Penghibur”.
Berbeda dengan Injil sinoptik yang menceritakan mengenai banyak mujizat yang dilakukan Yesus, Injil Yohanes hanya mencatat tujuh mujizat saja. Pemilihan mujizat secara cermat ini bertujuan untuk menguatkan iman pembacanya (Yoh 20:30-31).

Dari tujuh mujizat ini, tiga diantaranya terdapat dalam Injil Sinoptik. Penyembuhan anak pegawai istana, pemberian makan 5000 orang dan kisah mengenai Yesus yang berjalan di atas air. Injil Sinoptik juga mencatat tiga mujizat lain yang serupa, sedangkan hanya mujizat air menjadi anggur di Kana yang tidak dicatat dalam Injil Sinoptik.
Adanya perbedaan-perbedaan yang cukup menonjol antara Injil Yohanes dengan Injil sinoptik inilah yang kemudian dipertanyakan oleh banyak ahli dan membuat kebingungan bagi para pembacanya.

Pada akhirnya ada yang mempertanyakan apakah Injil Yohanes menyampaikan dengan akurat apa yang disampaikan oleh Yesus sendiri atau hal tersebut merupakan penafsiran dari Yohanes sendiri.

Bagaimana kita menanggapi pertanyaan ini?

Para Bapa-bapa gereja, seperti Clemen, Origen, dan lain-lain mengatakan bahwa Injil Yohanes mengemukakan kebenaran dan makna rohani di dalam peristiwa-peristiwa hidup Yesus.
Selain itu, Injil-Injil sinoptik bukan sekedar menyampaikan “sejarah” saja, melainkan sejarah disertai dengan teologi oleh para penulis yang diyakinkan oleh kebangkitan Yesus bahwa Ia adalah Mesias dan Anak Allah (Mark 1:1).

Melalui Injil itulah, para penulis ini menuliskan “kabar baik” dalam keyakinan iman tersebut.
Apa yang dilakukan dalam Injil Yohanes adalah mempertegas apa yang telah secara implisit sudah tertulis dalam Injil-Injil sinoptik, meskipun ada beberapa yang juga ditulis dengan eksplisit seperti dalam Mat 11:25-30.
Selain itu, seperti pendapat para bapa gereja, Injil Yohanes juga ditulis untuk melawan ajaran gnostik yang telah menyusup ke dalam gereja pada akhir abad I.

Dengan berakhirnya pembahasan mengenai Injil Yohanes, maka berakhir jugalah pembahasan kita untuk mengenal latar belakang sejarah sebelum penulisan Injil (masa intertestamental), latar belakang serta gambaran besar dari masing-masing kitab Injil.

Penulis berharap melalui penulisan-penulisan yang sudah ada, setiap jemaat dapat mengenal dan bahkan mendalami Injil dengan lebih baik sebagai bekal untuk mengenal Allah melalui FirmanNya di dalam kehidupan kerohanian setiap kita, amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar