Kamis, 19 November 2015

Kemiskinan yang paling Miskin

Siapa menutup telinganya bagi jeritan orang lemah, tidak akan menerima jawaban, kalau ia sendiri berseru-seru." - Amsal 21:13.

Ada seorang pengemis yang selalu saya jumpai setiap hari dalam perjalanan menuju tempat kerja saya. Seorang bapak tua yang berjalan tertatih-tatih dari mobil ke mobil di sebuah lampu merah, mengharapkan belas kasihan pengendara yang lewat untuk menghidupi dirinya. Ketika saya tidak punya uang untuk diberikan padanya, saya mengucapkan maaf sambil tersenyum kepadanya. Pada suatu kali, bapak itu tiba-tiba mendekati saya dan berkata: "Pak, bapak memang tidak setiap hari memberi saya uang sedekah, tapi bapak setiap hari memberi senyum. Ada banyak mobil yang memberi uang, tapi hanya sedikit yang memberi senyum.. saya merasa senang sekali.." Dan dia mulai mendoakan saya seraya mengucapkan terima kasih.

Apa yang anda pikirkan ketika melihat seorang pengemis? tentunya memberi uang sedekah bukan? Ternyata di balik itu mereka pun memiliki kerinduan untuk dihargai, dikasihi dan diperhatikan.
Jika berbicara mengenai kepedulian terhadap orang miskin, ingatan saya akan segera tertuju pada Bunda Teresa. Hampir sepanjang hidupnya dihabiskan di Kalkuta, India. Bunda Teresa ada ditengah-tengah masyarakat yang sangat miskin di sana, melayani Tuhan di antara yang termiskin, terbuang dan sangat membutuhkan. Bunda Teresa melayani orang yang lapar, gelandangan, buta, pincang, lepra dan sakit penyakit lain, orang yang telanjang, hingga orang yang tidak dicintai, tidak diinginkan, tidak diperhatikan atau orang-orang tertolak. Tentu pengalaman sekian banyak dasawarsa itu membuat Bunda Teresa tahu betul apa yang dibutuhkan orang.

Dengarlah apa katanya: "We think sometimes that poverty is only being hungry, naked and homeless. The poverty of being unwanted, unloved and uncared for is the greatest poverty. We must start in our own homes to remedy this kind of poverty.

"Kemiskinan terbesar bukanlah kelaparan, telanjang dan tidak punya rumah, melainkan rasa tidak diinginkan, tidak dicintai, tidak dipedulikan. Itulah kemiskinan yang paling miskin. Begitu banyak orang yang mengalami kepahitan bukan karena mereka tidak mampu secara finansial, tapi karena mereka merasa tertolak, merasa tidak dikasihi dan sebagainya.
Ada beberapa orang yang saya kenal mengalami hal seperti ini, meskipun secara ekonomi mereka berkecukupan.

Amsal Salomo mengingatkan kita untuk memiliki telinga peka terhadap jeritan orang yang membutuhkan pertolongan. Jika tidak, maka jeritan kita ketika membutuhkan pertolongan pun tidak akan didengar Tuhan. Mengapa demikian? Karena Allah adalah kasih. (1 Yohanes 4:8).

Kedatangan Kristus ke dunia untuk menebus dosa kita adalah bukti nyata betapa besar kasih Allah pada kita. Karena Allah begitu mengasihi kita, maka kita pun harus mengasihi orang lain.(1 Yohanes 4:11). Mengasihi tidaklah harus selalu berbentuk pemberian materi, tapi lewat perhatian, lewat membagikan sebagian waktu kita untuk mendengarkan mereka yang membutuhkan pertolongan, atau yang paling mudah, lewat senyum tulus, itu bisa meringankan penderitaan mereka.
Jika ada diantara teman-teman yang saat ini merasa tidak diinginkan atau tidak dicintai (unwanted and unloved), dan sementara ini tidak ada dukungan moril, kepedulian atau empati dari saudara-saudara seiman, ingatlah ini: bahwa diatas segalanya ada Tuhan yang selalu peduli dan tidak pernah terlalu sibuk untuk mendengar anda. Anda tidak pernah sendirian.
"Sebab TUHAN, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan janganlah patah hati" (Ulangan 31:8).
Meski mungkin orang terlihat tidak menghargai anda, tapi anda berharga di mata Tuhan. Bacalah Mazmur 139:13-18, disana tertulis bahwa kita adalah hasil "tenunan" Tuhan sendiri, itu adalah sebuah kejadian yang dahsyat dan ajaib. Tuhan peduli, dan Dia punya rencana istimewa bagi anda.

Bagi kita yang tidak mengalami "kemiskinan yang paling miskin" ini, sudahkah kita perduli kepada saudara-saudara kita yang tengah menjerit meminta pertolongan? Jika pengabdian seperti Bunda Teresa terasa begitu jauh dan sulit, sudahkah kita memperhatikan orang-orang yang sangat dekat di sekitar kita? Maukah kita menyisihkan sebagian dari diri kita untuk mereka, atau kita malah bersungut-sungut karena merasa terganggu dengan kehadiran mereka?
Yesus berkata: "..sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Matius 25:40).

Menjelang perayaan Natal untuk memperingati kelahiran Yesus ke dunia, marilah kita mengimani dengan sungguh-sungguh perbuatan Kristus yang melayani tanpa terkecuali dengan penuh kasih.

Rabu, 18 November 2015

Nyanyian kaum miskin menjelang natal.

Kapan pun aku berpikir tentang orang miskin, gambaran yang muncul dalam benakku adalah laki-laki dan perempuan yang sedang menyusuri pinggir jalan dengan beban berat di punggung mereka.

Aku teringat akan mereka yang berjalan pagi-pagi buta menuju pasar atau ladang, yang berharap untuk menjajakan sesuatu, atau barangkali untuk membeli sesuatu, untuk memperoleh pekerjaan atau barangkali untuk berjumpa dengan seseorang yang akan memberikan sesuatu kepada mereka cukup untuk hari berikutnya.
Aku teringat merasa bersalah ketika duduk di sepeda motor dan kulihat begitu banyak orang sedang berjalan kaki, kadang-kadang dengan kaki telanjang, tanpa alas sandal. Aku melihat mereka sedang berjalan menyusuri jalan-jalan berdebu di Sumatera, Indonesia.

Dengan mata hati, aku terus melihat mereka hingga sekarang. Orang miskin mengayunkan langkah di pinggir-pinggir jalan di dunia ini, membawa beban berat, dan berusaha bertahan hidup.

Mungkin dalam hidup Anda, orang berjalan kaki itu amatlah asing. Selalu saja ada pesawat, kereta api, mobil dan bus yang mengantar Anda dari satu tempat ke tempat yang lain. Kaki-kaki Anda amat jarang menyentuh debu-debu bumi; senantiasa ada kendaraan beroda yang membawa Anda dengan mudah. Mungkin dalam dunia Anda tidaklah banyak orang yang berjalan. Dan Mungkin sulit menjumpai seseorang di pinggir jalan yang bertanya tentang arah jalan. Mungkin dalam dunia Anda orang pergi dari satu tempat ke tempat lain dengan mengunci kamar rapat-rapat sambil mendengarkan lagu-lagu favorit. Hanya sesekali orang bertemu dengan orang lain di tempat parkir, supermarket, atau tempat jajanan fast-food.
Namun, Yesus berjalan dan terus berjalan. Yesus berjalan dari desa ke desa. Di dalam perjalanan itu, Dia berjumpa dengan orang miskin. Dia bertemu dengan peminta-minta, orang buta, orang sakit, orang yang berduka, dan orang yang harapannya pupus. Dia terus dekat dengan bumi. Teriknya matahari dan dinginnya malam dia rasakan. Dia tahu tentang rumput yang kering dan layu, tanah yang tandus, semak berduri, pohon yang tidak berbuah, bunga di padang, dan panenan yang melimpah. Dia tahu karena dia banyak berjalan kaki dan merasakan dalam tubuhnya musim yang tidak ramah dan musim yang bersahabat. Dia mendengarkan penuh perhatian orang-orang yang seiring sejalan dengannya. Dia berbicara dengan mereka dan mampu menjadi kawan seperjalanan yang sejati.
Dia keras tetapi sangat ramah; menuntut tetapi sangat mudah mengampuni; bertanya tetapi sangat sopan. Dia memangkas sampai ke akar-akarnya, tetapi dengan tangannya dia menyembuhkan; dia memilah-milah, tetapi hanya untuk membiarkan berkembang; dia menolak tetapi selalu menunjukkan kemungkinan. Yesus berkontak secara mendalam dengan bumi, bumi yang diinjaknya. Dia meneliti daya kekuatan alam; Dia belajar dari daya kekuatan itu, mengajar tentangnya dan mewahyukan bahwa Allah Pencipta sama dengan Allah yang mengutusNya untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin, mencelikkan mata orang buta, dan membebaskan para tawanan.

Orang miskin yang melangkah di jalan-jalan dan menelusuri gurun-gurun dan tempat berbatu-batu di dunia ini memanggilku untuk merendahkan hati. Seringkali aku menerawang jauh ke awan-awan dan memimpikan sebuah dunia yang bertambah baik. Namun, mimpi-mimpi takkan pernah berbuah seandainya aku tidak terus menoleh kembali ke bumi dan kepada semua orang yang sudah berjalan kaki amat jauh, yang kelelahan karena berjalan, dan yang mengundangku untuk menemani mereka.
Tetapi apa artinya berjalan bersama orang miskin? Artinya, mengakui kemiskinanku sendiri: batinku penat, kerapuhanku, kematianku. Di sanalah aku berkontak dengan bumi; di sana aku sungguh-sungguh rendah hati. Ya, di sanalah aku masuk ke dalam solidaritas dengan semua orang yang menjelajahi bumi dan mendapatkan bahwa aku dikasihi sebagai pribadi yang amat lemah sekaligus sangat berharga.

Sebelum Yesus memasuki kesengsaraannya, "Ia menuangkan air ke dalam sebuah baki, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu" (Yohanes 15:5).
Firman telah menjadi daging agar kakiku yang kelelahan dibasuhnya. Dia malah menyentuhku saat aku menyentuh tanah, saat bumi berkontak dengan tubuhku yang menggapai-gapai ke surga. Dia berlutut dan menaruh kakiku ke telapak tangannya lalu membasuh. Kemudian, dia menengadah dan menatapku. Ketika mata bertemu pandang, dia berkata, "Kamu menyebut aku Guru dan Tuhan (Lord), dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan (Lord). Jadi, jikalau Aku membasuh kakimu, aku adalah Tuhan (Lord) dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu (Yohanes 13:13-14).

Ketika aku menelusuri perjalanan yang jauh dan melelahkan menuju salib, aku harus berhenti sejenak untuk membasuh kaki sesamaku. Ketika aku berlutut di hadapan saudara-saudariku, membasuh kaki mereka, dan menatap mata mereka, kudapatkan bahwa saudara-saudariku yang berjalan bersama denganku itulah yang memampukan aku untuk mengadakan perjalanan yang sama.